Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata :
Ketahuilah –semoga Allah membimbingmu untuk menaati-Nya- sesungguhnya hakikat al-hanifiyah millah Ibrahim adalah engkau beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Dengan maksud itulah seluruh umat manusia diciptakan oleh Allah.
Sebagaimana ditegaskan Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat : 56) Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ dalam ayat tersebut adalah agar mereka mentauhidkan-Ku. Perintah terbesar yang dititahkan Allah adalah tauhid yaitu : mengesakan Allah dalam hal peribadahan. Sedangkan larangan Allah yang terbesar adalah kesyirikan, yaitu : berdoa kepada selain Allah disamping berdoa kepada-Nya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya),”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisaa’ : 36) (Tsalatsatul Ushul)
Hanifiyah = beribadah dengan ikhlas
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan bahwa makna hanifiyah adalah beribadah dengan mengikhlaskan agama kepada Allah. Ibadah memiliki asal makna merendah dan menundukkan diri. Oleh sebab itu berbagai tugas yang dibebankan Allah kepada umat manusia disebut ibadah karena mereka diperintahkan mengerjakannya dalam keadaan tunduk dan patuh kepada Allah. Adapun makna ibadah dalam terminologi syariat yaitu : suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Dan sebagaimana sudah dimaklumi bahwa ibadah hanya akan diterima jika dilandasi dengan keikhlasan. Makna ikhlas adalah : seorang hamba beramal dengan mengharapkan ridha dan pahala dari Rabbnya, bukan dalam rangka mencari tujuan lain berupa kepemimpinan, kedudukan, ataupun perkara duniawi lainnya. Mengharapkan ridha dan pahala dari Allah tidaklah mengurangi keikhlasan. Bahkan orang yang beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan pahala itu tercela. Hal itu merupakan tata cara beragama kaum sufi yang bertentangan dengan dalil-dalil syari’at (lihat Hushuulul ma’muul, hal. 43)
Buah keikhlasan
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan menyebutkan beberapa buah dari keikhlasan :
- Menyempurnakan tauhid dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah akan menyempurnakan ketaatan dan melenyapkan segala bentuk penyembahan dan pemujaan kepada selain-Nya.
- Orang yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah maka akan dibersihkan dari maksiat dan dosa. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), “Demikianlah agar Kami memalingkan darinya (Nabi Yusuf) keburukan (maksiat) dan perbuatan keji, sesungguhnya dia termasuk hamba Kami yang terpilih (dikaruniai keikhlasan).” (QS. Yusuf : 24)
- Orang yang ikhlas dalam beribadah maka dia akan terjaga dari tipu daya syaithan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya tidaklah engkau (syaithan) mampu menyesatkan hamba-hamba-Ku (yang terpilih).” (QS. Al-Hijr : 42) Dan syaithan pun berkata,”Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (ikhlas).” (QS. Shaad : 82-83)
- Haram masuk neraka, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Itban, “Sesungguhnya Allah mengharamkan orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dengan mengharapkan wajah Allah masuk ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Majmu’ Fatawa, 10/260-261. disadur dari Hushuulul ma’muul, hal. 43-44)
Millah Ibrahim adalah Tauhid
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata, “Al-Hanifiyah adalah millah (agama) Ibrahim. Agama Ibrahim biasa disebut dengan istilah al-hanifiyah.” (Hushulul ma’mul, hal. 42). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,”Al-Hanifiyah adalah millah (agama) yang memiliki kecenderungan menjauhi syirik, agama yang ditegakkan di atas landasan keikhlasan untuk Allah ‘azza wa jalla.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 37)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata,”Yang dimaksud dengan al-hanifiyah millah Ibrahim ‘alaihis salam adalah ajaran yang dititahkan Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya, ajaran yang diperintahkan Allah untuk diikuti oleh seluruh umat manusia. Allah jalla wa ‘ala berfirman,”Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengikuti millah Ibrahim dengan hanif.” (QS. An-Nahl : 123) Hakikat millah Ibrahim adalah ajaran tauhid…” (Syarh Kitab Tsalatsatil Ushul, hal. 16)
Imam Ath-Thabari menafsirkan kata-kata ‘dengan hanif’ dalam ayat tersebut (QS. An-Nahl : 123) adalah dengan “istiqamah di atas agama Islam”. Imam Ibnu Katsir berkata bahwa makna kata hanif ialah almunharif qashdan ‘anisysyirki ilat tauhid : sengaja menjauhi dan meninggalkan syirik menuju tauhid. Imam Al-Baghawi mengatakan bahwa makna hanif adalah,”muslim yang lurus berada di atas agama Islam.” Imam Al-Alusi mengatakan bahwa makna hanif adalah,”Berpaling dari semua agama yang batil menuju agama yang haq dan tidak bergeser darinya.” Tafsiran serupa disampaikan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir. Syaikh As-Sa’di mengatakan bahwa makna haniif adalah muqbilan ‘alallah bil mahabbah wal inaabah wal ‘ubuudiyah mu’ridhan ‘an man siwaahu : menghadapkan jiwa raga kepada Allah dengan rasa cinta, taubat dan penghambaan serta berpaling dari segala sesembahan selain-Nya. Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaa’iri mengatakan tentang makna hanif adalah condong kepada agama yang lurus yaitu Islam (lihat Maktabah Syamilah)
Tauhid tujuan penciptaan
Allah ta’ala berfirman,”Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat : 56) Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : Makna [agar] mereka beribadah kepada-Ku dalam ayat tersebut adalah [agar] mereka mentauhidkan-Ku.
Imam Al-Baghawi meriwayatkan di dalam tafsirnya bahwa Ali bin Abi Thalib menafsirkan ayat ini : (tidaklah mereka diciptakan) melainkan untuk Ku-perintahkan beribadah kepada-Ku dan Ku-seru mereka untuk menyembah-Ku. Tafsiran Ali ini firman Allah ‘azza wa jalla,”Dan tidaklah mereka disuruh melainkan untuk beribadah kepada ilah yang esa.” (QS. At-Taubah : 31) Beliau (Imam Baghawi) juga membawakan riwayat dari Mujahid yang menafsirkan ayat ini dengan (tidaklah mereka diciptakan) melainkan supaya mereka mengenal-Ku.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaa’iri mengatakan bahwa makna supaya mereka beribadah kepada-Ku ialah ‘Aku ciptakan mereka supaya tunduk beribadah kepada-Ku, maka barangsiapa yang beribadah kepada-Ku maka akan Aku muliakan, dan barangsiapa yang meninggalkan ibadah kepada-Ku maka akan Aku hinakan.’ Imam Ibnu Katsir berkata : Tidaklah mereka Aku (Allah) ciptakan kecuali untuk Kuperintah beribadah kepada-Ku, bukan karena kebutuhan diri-Ku kepada mereka. (lihat Maktabah Syamilah)
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan mengatakan : Ayat yang agung ini telah menerangkan hikmah penciptaan jin dan manusia yaitu untuk beribadah. Karena sesungguhnya Allah jalla wa ‘ala tidaklah menciptakan makhluk kecuali untuk Allah perintahkan beribadah…. (lihat Hushulul ma’mul, hal. 44-45)
Dua macam ibadah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata : Ketahuilah bahwa ibadah itu ada dua kategori. (pertama) ibadah kauniyah yaitu tunduk terhadap hukum kauni (alam) yang ditetapkan Allah ta’ala. Ibadah dalam pengertian ini mencakup seluruh makhluk Tidak ada satu makhluk pun yang keluar darinya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala,”Tidaklah ada apa-apa yang ada di langit maupun di bumi melainkan akan datang (pada hari kiamat) kepada Ar-Rahman sebagai hamba (abdi).” (QS. Maryam : 93) Oleh sebab itu ibadah ini meliputi orang beriman dan orang kafir, yang baik maupun yang bejat. Yang kedua adalah ibadah syar’iyah yaitu bersikap tunduk terhadap ketetapan syari’at Allah ta’ala. Ibadah dalam pengertian ini khusus berlaku pada orang yang mentaati Allah ta’ala serta mengikuti segala macam aturan yang dibawa oleh para Rasul. Inilah gambaran yang dimaksudkan semacam dalam firman Allah ta’ala,”Dan hamba-hamba Ar-Rahman itu adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqan : 63). Dengan demikian, ibadah dalam pengertian pertama tidak membuat seseorang terpuji karena ketundukan itu terjadi bukan karena perbuatannya. Namun bisa jadi dia mendapatkan pujian apabila dia bersyukur tatkala berada dalam keadaan lapang atau bersabar tatkala mengalami cobaan. Ini berbeda halnya dengan ibadah dalam pengertian yang kedua karena ketundukan seperti itu layak untuk dipuji. (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 38-39)
Tauhid apakah yang dimaksud ?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata : Tauhid yang dimaksud oleh penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) di sini adalah tauhid uluhiyah. Dalam masalah tauhid inilah letak kesesatan orang-orang musyrik yang diperangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan karena penyimpangan dalam hal tauhid inilah mereka dihalalkan darahnya, hartanya, tanah serta rumah-rumah mereka dan juga kaum wanita dan anak-anak mereka boleh ditawan. Mayoritas persoalan yang dihadapi para rasul pada kaumnya pun terkait dengan tauhid jenis ini. Allah ta’ala berfirman,”Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan : sembahlah Allah …” (QS. An-Nahl : 36) Maka ibadah tidaklah sah kecuali apabila ditujukan kepada Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang tidak menunaikan tauhid ini maka dia adalah musyrik dan kafir meskipun dia mengakui tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat. Seandainya ada orang yang benar-benar mengakui tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat akan tetapi bepergian ke kubur lantas beribadah kepada penghuni kubur itu atau bernadzar kurban untuk-Nya dalam rangka mendekatkan diri kepadanya maka dia telah musyrik kafir serta kekal di neraka. Allah ta’ala berfirman,”Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu maka sungguh Allah mengharamkan untuknya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang-orang zhalim tersebut.” (QS. Al-Maa’idah : 72) (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 40)
Perintah, kewajiban, dan dakwah teragung
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata : Tauhid merupakan perkara paling agung yang diperintahkan Allah disebabkan ia menjadi pondasi seluruh ajaran agama. Oleh karena itu dengan tauhid lah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya mengajak kepada agama Allah, demikian juga beliau memerintahkan utusan dakwahnya supaya memulai dakwah dengan perkara ini (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 41)
Dalil untuk hal ini adalah firman Allah ta’ala,”Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisaa’ : 36) Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertanya kepada Mu’adz,”Wahai Mu’adz tahukah engkau apakah hak Allah yang wajib ditunaikan hamba dan hak hamba yang pasti dipenuhi Allah ?” Mu’adz menjawab,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda,”Hak Allah yang wajib ditunaikan hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya serta tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata : Hadits ini -hadits Mu’adz- menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala memiliki hak yang harus ditunaikan oleh para hamba. Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak ini maka sesungguhnya dia telah terjatuh dalam sikap menyia-nyiakan hak yang paling agung (Hushulul ma’mul, hal. 47)
Dalam hadits lainnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Mu’adz bin Jabal tatkala hendak diutus berdakwah ke negeri Yaman,”Hendaklah perkara pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat laa ilaaha illallah” dalam riwayat lain,”Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Di dalam riwayat Muslim dengan lafazh,”Hendaknya perkara paling pertama yang harus engkau sampaikan kepada mereka adalah ibadah kepada Allah.” Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah di sini adalah bertauhid (lihat Fathul Bari, 20/440 Maktabah Syamilah)
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali mengatakan tentang hadits Mu’adz ini : Hadits ini menjelaskan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang da’i ilallah. Perkara yang harus disampaikan pertama kali adalah dakwah kepada tauhid serta mengesakan Allah semata dalam beribadah dan juga menjauhi syirik kecil maupun syirik besar… (Mudzakkirah Al-Hadits An-Nabawi, hal. 8)
Ibrahim bukan Yahudi atau Nasrani
Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Ibrahim bukanlah seorang Yahudi ataupun Nasrani akan tetapi dia adalah seorang hanif dan muslim serta bukan termasuk golongan kaum musyrikin.” (QS. Ali-‘Imran : 67)
Imam Ath-Thabari mengatakan : Ini merupakan pendustaan dari Allah ‘azza wa jalla terhadap klaim orang-orang yang mendebat ajaran Nabi Ibrahim dan millahnya dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Mereka mengklaim bahwa Nabi Ibrahim berada di atas millah (agama) yang mereka anut. Ayat ini menjadi penegas sikap berlepas dirinya Ibrahim dari perbuatan mereka. Allah menegaskan sesungguhnya mereka itulah -Yahudi dan Nasrani- yang menyelisihi agama yang beliau bawa. Hal ini menjadi kata putus dari Allah ‘azza wa jalla bagi seluruh pemeluk Islam dan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menetapkan bahwa mereka itulah -umat Islam- orang-orang yang benar-benar menganut ajaran agama Ibrahim dan berjalan di atas jalan-jalan dan syariat yang beliau gariskan, dan bukannya para pemeluk agama-agama selain agama yang mereka peluk (Maktabah Syamilah) Imam Al-Baghawi berkata : makna hanif adalah orang yang berpaling dari seluruh agama (batil) yang ada dan menuju agama yang lurus (Maktabah Syamilah)